M. Hermayani Putera*
Manusia pembelajar adalah idealisasi gambaran manusia paripurna. Manusia yang sadar akan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin atau khalifah, memiliki kesadaran utuh bagaimana mewujudkannya. Ia akan selalu terus belajar memperbaharui dan melengkapi dirinya dengan segenap ilmu pengetahuan dan ketrampilan hidup. Ia juga memiliki kesadaran sejarah untuk melakukan perubahan. Memimpikan dan memperjuangkan sebuah tatanan lingkungan dan kehidupan yang lebih baik.
Sosok manusia pembelajar sejati tidak akan berhenti pada dirinya sendiri. Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan hidup, ia tergerak melakukan sesuatu. Dimulai dari dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ia selalu melakukan proses perenungan mendalam terhadap apa yang terus berulang-ulang dilakukannya. Tidak berhenti melakukan refleksi dan kontemplasi terus-menerus, untuk menguji dan membuktikan apa yang diyakini.
Siklus pembelajaran ini terus berlanjut ke fase berikutnya: bergerak. Sosok manusia pembelajar membutuhkan instrumen untuk mendukung pergerakannya ini, biasanya dengan membangun komunitas atau membentuk organisasi. Ketika sekelompok orang yang bergabung di sebuah komunitas terkonsolidasi dengan baik dan kemudian bersepakat atas segenap perangkat nilai dan prinsip dalam disiplin tata kelola organisasi, sosok manusia pembelajar beserta para pengikutnya ini memasuki fase selanjutnya yang menentukan: menggerakkan.
Tulisan ini mencoba memotret perjalanan hidup Kiai Haji (KH) Ahmad Dahlan, pendiri gerakan Muhammadiyah dalam kerangka dan siklus tergerak-bergerak-menggerakkan. Harapannya, dari tulisan ini kita mendapatkan pembelajaran bagaimana karakter sebagai manusia bisa mewujud pada sosok K.H. Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan K.H. Abu Bakar dan Siti Aminah. K.H. Abu Bakar adalah ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, sementara Siti Aminah merupakan puteri dari H. Ibrahim, seorang penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat itu.
Dua kali kesempatan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah pada tahun 1873 (menetap di Mekkah 5 tahun) dan 1903 (menetap 2 tahun), mengantarkan Ahmad Dahlan muda memiliki kesempatan bergelut dengan pemikiran pembaharuan Islam. Pada perjalanan haji kedua, ia bahkan sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang juga merupakan guru pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asyari.
Momen dua kali perjalanan haji ditambah bermukim beberapa tahun di Mekkah guna memperdalam agama Islam telah memperkaya pemikiran KH Ahmad Dahlan tentang bagaimana mengamalkan Islam secara lebih utuh dan murni. Dalam siklus pembelajaran, hal ini merupakan fase tergerak-nya seorang KH Ahmad Dahlan terhadap pemikiran pembaharuan dalam Islam.
Memasuki tahapan selanjutnya, pentingnya menjaga keutuhan dan kemurnian dalam mengamalkan Islam diwujudkan oleh KH Ahmad Dahlan melalui gerakan organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan di Yogyakarta pada 8 Zulhijjah 1330 H, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 (lebih detail bisa dicek di situs muhammadiyah.or.id/id/content-50-det-sejarah.html). Sejak didirikan hingga sekarang, berbagai bentuk amal usaha Muhammadiyah terus tumbuh berkembang, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, gerakan kepanduan, dan organisasi Muhammadiyah khusus untuk beberapa segmen tertentu juga terus tumbuh dan berkembang.
Sebagai upaya dalam pemurnian ajaran agama Islam, KH Ahmad Dahlan terus menggencarkan gerakan dakwah lewat pengajian dan majelis dengan melakukan usaha purifikasi akidah dari segala macam bentuk tahayul, bid’ah, dan churafat, yang biasa disingkat TBC. Dalam bidang pendidikan, KH. Ahmad Dahlan telah berhasil menciptakan model sekolah yang berbasis integrasi ilmu agama dan ilmu umum yang merupakan benih dari sekolah Islam modern di Indonesia. Dalam bidang sosial, lewat gerakan Surat Al-Ma’unnya telah berhasil membuat rumah sakit swasta pertama di Indonesia.
Keberlanjutan amal dan perjuangan KH Ahmad Dahlan kemudian dilanjutkan oleh organisasi Muhammadiyah yang beridentitaskan Islam, dakwah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar), dan gerakan pembaharuan (tajdid). Karya dan amal usaha Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan serta perluasan tersebut menjadi penanda semangat dakwah yang tinggi, spirit berinovasi yang tiada henti, dan sarat gagasan kreativitas.
Ketajaman analisis sosial Ahmad Dahlan terhadap kondisi faktual sosial keagamaan bangsa dan umat Islam Indonesia pada saat berdirinya Muhammadiyah juga merupakan salah satu indikasi kemampuannya dalam menerjemahkan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dalam bentuk praksis sosial melalui jalur organisasi. Misalnya, jauh sebelum bangsa ini mengembangkan program pendidikan karakter, Muhammadiyah sudah memberi contoh dengan mendirikan gerakan kepanduan pada 20 Jumadil Awal 1338 H, bertepatan dengan 30 Januari 1920, diberi nama HW (Hizbul Wathan). Sejak saat itu, Hizbul Wathan (HW) yang berarti “golongan yang cinta tanah air” mulai dikenal mayarakat. HW melatih anak-anak bangsa tentang disiplin, ketrampilan hidup, solidaritas, dan yang paling utama adalah semangat cinta tanah air sebagaimana arti HW itu sendiri.
Dalam perjalanan Muhammadiyah, organisasi seperti HW yang bersifat otonom juga banyak tumbuh. Dalam organisasi Muhammadiyah, organisasi ini disebut Organisasi Otonom Muhammdiyah (Ortom), yakni organisasi atau badan yang dibentuk oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang dengan bimbingan dan pengawasan, diberi hak dan kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri, membina warga Persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang-bidang tertentu dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah.
Ortom yang ada di Muhammadiyah adalah Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiyatul ‘Aisyiyah (NA), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Tapak Suci Muhammdiyah, dan HW, yang semuanya bergerak dalam segmen masing-masing. Jika HW bergerak di bidang kepanduan, maka ‘Aisyiyah bergerak di segmen kaum perempuan, Tapak Suci di bidang beladiri pencak silat, PM bagi kalangan pemuda, NA bagi pemudi atau remaja putri, IMM bagi kalangan mahasiswa, dan IPM bagi para pelajar (setingkat SMA).
Kiprah KH Ahmad Dahlan dan gerakan organisasi Muhammadiyah terus berkembang, melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan dan bahkan negara. Kini, Muhammadiyah sudah hadir di seluruh provinsi, banyak kota dan kabupaten serta pelosok negeri. Dalam istilah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat menyampaikan refleksi Milad ke-111 Muhammadiyah melalui webinar daring pada Selasa (28/7) lalu. “Muhammadiyah tidak cuma gerakan perkotaan sebagaimana banyak orang menduga. Sebab, Muhammadiyah juga dikenal punya sekolah hingga ke kawasan pesisir dan menjangkau hingga masyarakat adat,” kata Pak Haedar Nashir.
Bahkan Muhammadiyah juga hadir di kawasan kepulauan yang umumnya sulit dijangkau. Maka wajar jika Muhammadiyah juga punya “warga persyarikatan” yang berasal dari agama berbeda. “Hal ini lumrah karena Muhammadiyah memiliki amal usaha berupa sekolah dan perguruan tinggi di daerah mayoritas Kristen seperti di Papua dan NTT. Tapi itu tidak pernah menjadi kendala. Bahkan, merupakan praktik keberagaman yang otentik lahir dari keterbukaan Muhammadiyah mengabdi bagi bangsa,” tegas Haedar.
Kemampuan Ahmad Dahlan sebagai seorang manusia pembelajar dan visi kuatnya dalam mendirikan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam melalui jalur organisasi modern, menjadi obyek penelitian dan tulisan pakar. Dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996) Deliar Noer mengatakan bahwa figur Ahmad Dahlan telah melakukan edukasi langsung terhadap masyarakat sebelum pendidikan formal. Ia mengorganisir peserta didik di Kauman untuk sukarela membebaskan rakyat. Ketika melakukan edukasi terhadap peserta didik, ia berusaha membawa siswanya berpikir reflektif, berpikir kritis dan solutif terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, bahkan ia tak segan mengulang-ulang topik yang dibahas jika belum diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Langkah ini cukup efektif karena murid-muridnya kemudian mempraktekkan apa yang dipelajari di kelas dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat, salah satunya dengan menyantuni fakir miskin. Apa yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut sejalan dengan strategi _authentic learning_, yang fokus pada apa yang dihadapi di dunia nyata, mengatasi permasalahan yang kompleks, menggunakan latihan, pembiasaan, studi kasus, dan menggerakkan partisipasi.
Cara dan corak gerakan Islam oleh KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang modern dan inklusif ini ikut menarik perhatian kalangan di luar Islam. Interaksi antara persyarikatan Muhammadiyah dan masyarakat non-muslim yang baik ini dicontohkan oleh Haedar Nashir. “Dan menariknya, ketika warga non-muslim membangun gereja, warga Muhammadiyah turut serta ikut membantu, dan ketika warga Muhammadiyah membangun masjid warga non-Muslim ikut membantu,” kata Haedar.
Dengan demikian, Muhammadiyah bisa diterima masuk dan berbaur dengan berbagai karakter bangsa yang ada di Indonesia, termasuk dengan perbedaan sosial, geografis, ekologi dan kepercayaan. Pelan namun pasti, amanah Ahmad Dahlan untuk menyebarkan dakwah pencerahan sudah terlaksana. Mulai dari perkotaan, hingga ke pelosok desa dan pulau kecil, bahkan ke luar negeri. Pada fase ini, Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah mengajarkan kepada kita tentang kekuatan sebuah visi yang menggerakkan banyak elemen dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
*Ketua Bidang Sosial dan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PP KAUMY)
Sumber: muhammadiyah.or.id