Perjalanan menuju Kokoda bukan masalah seberapa jauh, tapi semangat yang tetap menuntun kami untuk betah berlama-lama di kapal terombang ambing ditengah lautan selama 5 hari. Dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, kapal Ceremai mulai berangkat. Dengan diiringiharu kami diantar para pejuang pendahulu yaitu kakak-kakak kami angkatan tahun pertama yang biasa kami sapa MBN tua, bahkan perpisahan dengan mereka masih kami ingat betul.
Mulai bermalam di pelabuhan tanjung Perak sampai makan bersama dengan para pejuang pendahulu nan super ini. Malam itu para pendahulu kami pergi yang diiringi deru air mata terharu, mbak Intan, mbak Novita, mbak Riana mbak Diba, mbak Amor, mas Sukma, mas Damas, mas Akbar, mas Imam, dll tak hentinya menyemangati kami di penghujung jalan pemberangtan
Kapal mulai meninggalkan pelabuhan, ombak mulai menderu setelah beberapa menit kapal Ceremai ini berlalu. Perjalanan akan segera dimulia. Sejak 6 bulan yang lalu kami biasa menyebutnya perjalanan kemanusiaan. Bukan tanpa sebab sebutan itu kami gantungkan. Setelah lama berproses mulai dari seleksi di semester sebelumnya, kami langsung bertransformasi sebagai sebuah tim KKN Mandiri. Tim yang terdiri dari 25 mahasiswa ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan dari berbagai jurusan di UMY kecuali fakultas FKIK karena memang mereka memiliki program sendiri untuk pengabdian.
Jika aku ingat bagaimana memasuki kapal itu tak semua seperti kendaraan darat, perlu perjuangan ekstra. Bagaimana tidak disebut perjuangan ekstra jika saat naik pun dipenuhi oleh teriakan dari berbagai penjuru, termasuk teriakan para potter yang banyak menawarkan jasa angkut barang sampai kapal. Bahkan untuk mendapatkan tempat duduk pun harus berebutan dan bertarung dengan keramaian yang amat sangat.
Kapal Ceremai yang rombonganku tumpangi ini sebenarnya sudah berlabuh di Tanjung Perak terlebih dahulu sebelum akhirnya ke Surabaya dan mengangkat penumpang lagi. Jadi tak mengherankan jika jumlah penumpangnya sudah banyak.
Tidur, makan, tidur, makan. Seperti itulah kegiatan selama empat hari di kapal. Sangat membosankan memang, sesekali kita menengok keluar di dek kapal untuk menikmati udara segar dan sepoi angin diatas kapal. Menjadi momen indah di kapal ketika teman-teman main gitar di dek kapal dan para pengunjung lain ikut menikmatinya bahkan sampai menyanyi bersama.
Hari ke-3 di kapal tibalah di Pelabuhan Bau-Bau, Sulawesi Selatan. Disini penumpang bertambah cukup banyak sampai kapal ini penuh. Seperti biasa ketika transit, kami harus menjaga barang-barang bawaan kami, suasna riuh dan rame yang amat dan teriakan dimana-mana membuat penumpang harus was-was dan jangan teledor.
Malam pun datang, aku menginjakan kaki keluar setelah seharian di dalam kapal. Kuhampiri teman-eman laki-laki yang sedang bernyanyi-nyanyi sambil bermain gitar. Suasana di luar ternyata lebih riuh, sampai di pinggir-pinggir dek penuh dengan manusia. Entah bagaimana dengan urusan tiket mereka, mereka tak dapat makan dan sepertinya hanya menumpang.
Seorang abang-abang dia dari Makassar dan hendak ke Sorong bersama istrinya. Ikut bernyanyi bersama kami sambil sesekali melempar canda dan kami diberi pisang Makassar satu-satu. Dengan bahasanya sesekali ia bercakap dengan istrinya, sampai akhirnya bang … melepas kaos panjangnya dan dilempar ke istrinya, rupanya sang istri kedinginan malam itu. Sungguh romantis benar orang Makassar ini, di kala dingin begitu menerjang rupanya Bang … masih rela berkorban untuk istrinya, kami salut Bang.
Tibalah rombongan kami di pelabuhan Sorong, di kala matahari sangat terik-teriknya kami harus menuruni kapal sambil membawa barang bawaan yang cukup banyak dan berkardus-kardus.
“cepat..cepatt, mahasiswa kok lama”. Teriak seorang bapak-bapak dari belakang yang rupanya seorang pegawai kapal.
Barang bawaan yang banyak dan keramaian yang amat sangat membuat kami harus tetap waspada juga. Seorang cewek perkasa di tim kami, sebut saja Sihe ikut membawa tas carrier yang rumayan berat. Biasanya memang yang berat-berat dibawa para laki-laki tangguh tim ini. Sisanya yang enteng-enteng baru bagian cewek.
Tangga demi tangga kapal kami turuni, disertai teriakan dari berbagai arah. Di lorong kapal memang harus waspada, disitulah rupanya rawan akan kecurian. Apalagi untuk barang-barang berharga, harus dipegang betul-betul.
Tas yang berisikan full Kamera dan lensa ini rupanya cukup berat, aku membawanya sampai di pelabuhan. Di Pelabuhan Sorong ini rupanya kami sudah dijemput oleh bus STKIP Muhammadyah Sorong, beberapa alumni UMY seperti Kak Anna yang merupakan seorang Dokter tamatan UMY dan beberapa orang lainnya.
Bus STKIP mulai berjalan keluar Pelabuhan, di dalam Bus ada Pak Oki yang terus menerangkan apa-apa yang terlihat di jalanan. Pak Oki ini adalah Kepala Sekolah dan satu-satunya guru di SD Labschool STKIP Muhammadiyah yang ada di Kampung Warmon Kokoda, tempat kami akan mengabdi. Melihat jalan yang kami lewati tak seperti di tempat baru. Rasanya sama saja dengan di Jogja, apalagi banyak orang Jawa. Tadinya kami pikir akan langsung menjumpai orang-orang Papua asli, tapi rupanya tidak seperti itu. kebanyakan yang berada di kota justru para pendatang (transmigran) baik dari Sulawesi, Jawa, NTT,NTB, dll.